Rabu, 24 April 2013

Dia Bukan Anak Nakal


me and Bun-Bun


 Dia seorang anak laki-laki berusia empat tahun. Aku memanggilnya Bun-Bun, tentunya bukan nama asli. Itu panggilan kesayanganku untuknya. Bun-Bun sangat aktif, dia tipe anak yang memiliki energi banyak. Tentunya ada harapan kedepannya dia menjadi seorang anak yang cerdas. Modal yang dimilikinya sangat baik, tinggal tangan siapa yang bisa mengolahnya supaya bisa menyalurkan energi hidupnya dengan baik dan tepat.

Bun-bun sering menemani hari-hariku. Tiap hari dia ke rumah, setelah ganteng tentunya. Dia masih ngompol. Haha. Jadi harus mandi pagi-pagi. Seringkali kami bertengkar, dan aku menjelma manjadi anak-anak lagi yang tidak terima mainannya direbut. Yah, kami rebutan laptop. Saat aku sedang asik menulis, atau membaca suatu hal di laptopku, dia ngotot minta ngegame atau melihat film kesayangannya. Bayangkan, saat ideku sedang lancar mengalir tiba-tiba distop. Aku tidak terima. Dan kami bertengkar. Dia memukulku bahkan di kakiku yang masih sakit. Kukunci tangan dan kakinya dan dia menangis. Itulah akhir drama pertengkaran kami. Dia sangat bandel, berani tapi sangat cengeng.

Saat hatiku sedang baik, santai, nyaman dia datang dan meminta nonton film aku oke aja. Atau saat akalku sedang jernih maka dia akan kutemani main sampai capek. Kami bermain apapun. Tembak-tembakan, saling melempar bantal, guling, hingga makanan yang baru dibeli. Dia juga suka naik ke kursi rodaku saat aku hendak ke kamar mandi atau ke belakang. semacam kernet di bus kota. Dia suka menggodaku sampai keinginannnya terpenuhi dengan memukul, mencubit atau menggelitikku. Dia merasa puas kalau aku kesakitan. Aku kesal dibuatnya. Tapi kalau dia tidak datang sepi rasanya waktuku. Haha.

Bila Bun-bun baru pulang dari suatu tempat, atau habis jalan-jalan dengan ayah ibunya dia akan menceritakan banyak hal. Aku menanggapi dengan senang hati. Sambil kuasah daya pikir dan daya ceritanya dan kemampuan berbahasa tentunya. Dengan berbongkah-bongkah dia menceritakan apa saja yang dilihatnya. Kuberi umpan beberapa pertanyaan supaya ceritnya lebih seru, lebih lucu dan lebih panjang. Hingga ia lupa untuk menggodaku. Jika energinya disalurkan dengan baik, misal diajak bercerita, dikenalkan dengan lagu baru, menyanyi bersama-sama, atau diajak bermain yang fair dia tidak akan memukul. Tetapi dengan catatan siapkan energi sebanyak-banyaknya. Untuk mengimbangi energinya yang kelewat banyak dan belum terkendalikan dengan baik.

Aku sering berfikir apakah kira-kira guru TK nya sanggup mnegontrolnya nanti. Dia belum sekolah. Anak-anak seperti dia yang punya energi banyak cenderung meminta sesuatu yang lebih variatif dan lebih menantang daya pikir mereka. Maklum, mereka butuh hal-hal baru yang menantang otak mereka. Kalau daya pikirnya tidak tersalurkan atau energinya tdak tersalurkan secara baik dan positif maka akan tersalur ke arah yang lebih negatif. Misalnya memukul teman, berkelahi, meminta perhatian dengan berbuat anarkis dan sejenisnya. Dan orang-orang dewasa akan menganggpnya sebagi anak yang ‘nakal’ padahal seringkali hal itu terjadi karena orang dewasa tidak memahami energinya yang kelewat banyak atau energinya ditahan. Misalnya sering dilarang untuk berekspresi. Energinya akan tertahan dan natinya kalau sudah tidak kuat menahan akan jebol dan bisa semakin tidak terkendali. Dan kembali ia mendapat predikat nakal. Ah, kasihan. Lebih mengenaskan lagi jika energinya ditahan kemudian mati. Dia mati di usia emas atau golden age. Usia yang sedang bagus-bagusnya untuk menyalurkan energi, mengembangkan dan mengarahkan alirannya dengan tepat. Bukan memforsir, memaksakan , atau bahkan mematikannya. Ah, susahnya.

Best Regards,
~asna rosela~

Banyumas, 11 Maret 2013 ; 23:06. Eh, aku lupa mengenalkan anak kecil itu ponakanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar